Berawal dari dari pertanyaan “kemana sampah saya berakhir?”, saya coba-coba untuk turut dengan truk pengangkut sampah, di kota Maumere, pada Selasa (17/2/22).
“Kaka, praktekkah?” tanya Ovan, salah satu pekerja kebersihan yang bertugas saat mengetahui saya adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas di Maumere.
"Tidak. Saya mau menulis soal sampah. Jadi saya akan ikut hari ini.” kata saya.
Rupanya pagi itu, mereka tengah menunggu saya. Saat saya tiba, kami langsung bergegas naik ke truk pengangkut sampah. Saya duduk di depan, bersama Ako, sang supir, dan juga Ovan. Hari itu, ada 6 orang orang yang bertugas dan akan mengangkut sampah di tiga kelurahan yaitu kelurahan Madawat, Nangalimang, dan Kabor.
Pengangkutan sampah dimulai di sepanjang Jalan Gajah Mada, kelurahan Madawat. Titik pertamanya adalah di sebuah bak sampah yang cukup besar. Ukurannya sekitar 2*2*1 m^3. Bak sampah itu penuh dengan dahan-dahan pohon yang dipangkas. Selembar seng yang karat menutupi mulut bak sampah ini. Selain dahan dan selembar seng, bak sampah ini juga dipenuhi oleh dedaunan, plastik, botol dan kaleng, sisa-sisa bangunan (pahatan semen), pembalut dan popok bayi, kain dan sepatu, dan limbah rumah tangga lainnya.
Semua sampah itu adalah kumpulan sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga-rumah tangga yang ada di satu kelurahan. Sampah-sampah ini tidak dipilah terlebih dahulu dari tiap-tiap rumah. Hal ini karena, warga tidak terbiasa melakukan pemilahan sampah.
Saya sendiri pernah melakukannya saat duduk di sekolah dasar. Sampah dipilah dengan kategori paling dasar; anorganik dan organik. Setelah pemilahan, sampah-sampah itu tetap saja menyatu saat dibuang ke tempat sampah umum. Pemilahan sampah itu sia-sia.
Ovan, dengan menggunakan sebuah skop, memindahkan sampah dari bak sampah ke selembar karung, yang kemudian dipindahkan lagi ke dalam truk. Sambil bekerja, mereka juga melakukan pemilahan sampah yang memungkinkan seperti kaleng bekas kemasan makanan, kaleng dan minuman, botol kecap, saos atau bir, dan botol plastik atau cup kemasan air minum. Kaleng bekas kemudian digilas dengan truk sampah, agar menjadi pipih.
Ovan dan kawan-kawannya bekerja tanpa alat pelindung (masker, sarung tangan, dan sepatu boot) atau baju kerja. Saya kemudian menyadari, mereka telah terbiasa dengan aroma sampah yang busuk dan lembab. Ini juga pekerjaan yang beresiko, tentu saja.
"Panas, kalau pakai masker. Sepatu boot berat.” Salah satu dari mereka memberi alasan. Mereka tidak nyaman dengan alat pelindung, dan abai dengan keamanan kerja meski alat pelindung tersebut diadakan oleh lembaga terkait.
Karena banyak sampah, kami menyelesaikan proses pengangkutan sampah di titik pertama ini dengan waktu yang cukup lama: 1 jam. Lalu kami melanjutkan ke titik-titik berikutnya. Di sepanjang lintasan, sampah-sampah dari rumah tangga, kantor, bengkel, dan kios yang sudah dikumpulkan dan diisi dalam karung-karung juga diangkut. Beberapa karung dikembalikan kepada pemiliknya untuk mengisi kembali sampah mereka.
Di kelurahan yang lain, kami juga mengangkut sampah dari sebuah caffe and restoran besar yang ada di Maumere. Tempat ini memiliki bak sampah tersendiri dan melakukan pemilahan sampah seperti botol plastik dan kaca, kaleng, dan limbah rumah tangga lainnya. Dengan bak sampah sendiri, tentu saja volume sampah yang dihasilkan cukup banyak.
Sekitar lebih dari 12 titik sampah yang kami angkut, titik terakhir adalah sebuah cabang perusahaan penyedia jasa penitipan barang. Lebih dari 9 kantong sampah/trash bag berukuran 1*1,5 m berisi sampah bungkusan paket: karung, kardus, dan plastik, dan langsung memenuhi truk sampah.
Selama masa pandemi, pola konsumsi masyarakat berubah dan aktifitas belanja online dan penggunaan layanan pesan antar meningkat. Pusat Penelitian Oseanografi dan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI merilis hasil studi pada Mei 2020 lalu, tentang ‘Dampak PSBB dan WFH Terhadap Sampah Plastik di Kawasan JABODETABEK’. Survei ini dilakukan secara online pada 20 April-5 Mei 2020. Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas belanja online cenderung meningkat. Dari yang sebelumnya hanya 1 hingga 5 kali dalam sebulan, mencapai 1-10 kali selama PSBB/WFH. Data ini cukup relevan sebagai rujukan, mengingat PSBB terjadi nyaris di seluruh daerah di Indonesia. Meski keadaan berlahan membaik, pola konsumsi tak banyak berubah.
Perjalanan pun berlanjut. Tersisa 1 kelurahan yang belum kami lintasi. Sebelum pukul 12, kami sudah menuju ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di Waturia, kurang lebih berjarak 14km dari kota Maumere. Lahannya sekitar 1 hektare. Sampah ini berasal dari 8 kecamatan di kabupaten Sikka (Kangae, Alok, Alok Barat, Alok Timur, Nita, Kewapante, Nelle, dan Magepanda). Ada banyak sampah yang tidak kategorikan. Beberapa sampah ang bernilai rupiah (besi, kaleng, kemasan minuman, kertas) dipilah oleh pemulung untuk dijual. Penanggulangan sampah lainnya adalah dibakar, dan dikuburkan.
***
"Apa jenis sampah yang tidak kalian sukai saat sedang mengangkut sampah?” tanya saya pada kawan-kawan pengangkut sampah.
"Sampah dedaunan, dan dahan-dahan.” Kata salah satu dari mereka. Ini jenis sampah yang paling banyak ditemukan. Sampah dedaunan kadang meluap-luap di bak-bak sampah di kota Maumere. Padahal ini sampah yang paling mudah terurai dan tidak butuh waktu lama seperti plastik, dan rumah-rumah tangga seharusnya bisa mengolah sampah ini. Faktanya, tak seperti itu.
"Sampah pembalut dan popok. Paling banyak,” Saya jadi teringat dengan sampah pembalut yang saya hasilkan setiap bulan. Sebelum membuangnya ke tempat sampah, saya selelu membersihkannya terlebih dahulu setelah menggunakannya. Tindakan yang saya lakukan tentu tak mengurangi sampah pembalut. Menggunakan pembalut kain, tampon, menstrual cup, atau free bleeding bukanlah tren untuk perempuan di Maumere.
"Sampah bangunan.” Ini justru yang paling mengherankan bagi saya. Karung-karung yang dibuang di bak sampah berisi pecahan-pecahan halus dari tembok yang dipahat. Apakah tidak ada tempat lain, seperti halaman yang kosong untuk membuangnya, selain tempat sampah umum?
Pada akhirnya, saya menyadari bahwa bicara sampah sama penting dengan isu-isu lainnya, karena ini bukan hanya tanggung Dinas Lingkungan Hidup setempat, atau kawan-kawan petugas yang saya buntuti hari ini, tapi juga segenap manusia yang menghasilkan sampah.
Dinas Lingkungan Hidup kabupaten Sikka mencatat jumlah sampah yang diangkut setiap hari sebanyak 160 meter kubik atau sekitar 57.600 meter kubik per tahun 2021. Timbunan sampah ini tentu saja tidak melewati proses pemilahan, terlebih jika telah disatukan di tempat pembuangan akhir. Di TPA, para pemulung akan memilah sampah yang bisa dijual kembali. Sisanya, akan dibakar. Masalah baru akan muncul terus menerus, jika sampah tak terselesaikan.
Jadi apa yang bisa dilakukan?
Kamu tak perlu duduk di atas mobil bak sampah selama 6 jam hanya untuk mengubahmu menjadi seseorang yang mendadak peduli pada isu lingkungan. Yang perlu kamu lakukan adalah bertanggung jawab terhadap sampah yang kamu hasilkan dan sebisa mungkin untuk coba menguranginya.
Berikut tips-tips yang mungkin bisa kamu coba.
Beli sedikit barang. Belilah barang-barang yang kamu butuhkan, bukan yang kamu inginkan. Membeli pakaian yang kamu sukai namun jarang kamu pakai akan berakhir di dalam lemari bertahun-tahun. Hindari juga kebiasaan menyetok sayuran, daging atau ikan di dalam kulkas berhari-hari. Selain untuk menghindari makanan yang mubazir, langkah ini juga bertujuan untuk membangun kebiasaan mengkonsumsi makanan yang segar.
- Untuk mengurangi sampah kemasan minuman, sebaiknya bawa air minum dari rumah. Beli tumbler murah di pasar atau toko.
- Beli barang dengan kualitas baik. Membeli sepatu berkualitas membuatmu tak perlu mengganti sepatu setiap 6 bulan. Kamu bahkan bisa memakainya dengan jangka waktu yang lama. Selain berhemat, sampah yang kamu hasilkan hanya sedikit.
- Jual sampahmu yang bisa dijual. Kertas, kaleng, botol minum. Jika kamu kekurangan space untuk menyimpannya, pilah sampahmu sebelum membuangnya ke tempat sampah umum. Ini memudahkan pemulung untuk menjual sampah yang kamu punya.
- Habiskan makanan yang ada dipiringmu. Ini untuk mengurangi sampah makanan.
- Diet plastik, sambil menunggu Perda Hari Tanpa Plastik atau semacamnya ada dan berlaku di daerahmu.
- Cobalah berjalan kaki jika bepergian di tempat yang tidak terlalu jauh.
- Jika punya banyak uang, belilah produk yang ramah lingkungan seperti detergen yang tidak merusak tanah dan air.
- Jika punya banyak waktu, cobalah untuk bergabung ke komunitas-komunitas yang bergerak pada isu lingkungan.
- Jika suka bercerita, bagikan pengalamanmu mencoba tips-tips di atas pada kawan-kawanmu. Semoga mereka tertarik untuk mencobanya, demi dunia yang lebih baik.
***
Komentar
Posting Komentar