Langsung ke konten utama

Jumlah Anggota DPRD Perempuan di Kab/Kota se-NTT Belum Capai 10%

 

Jumlah anggota DPRD perempuan Kab/Kota se-NTT belum pernah mencapai 10% sejak 2015 hingga 2022. Jumlah ini masih berkisar dari 8,14%-9,38%. 


Di tahun 2015, setahun setelah pemilu 2014, menjadi persentase tertinggi jumlah anggota DPRD perempuan di NTT yaitu 9,38% atau 61 perempuan dari 650 orang. Sedangkan pada periode pemilu 2019, jumlah perempuan yang duduk di kursi DPRD tingkat Kab/Kota se-NTT sebesar 8,98% dari jumlah anggota DPRD laki-laki atau 58 perempuan dari 646.


Angka ini menunjukan rendahnya keterlibatan perempuan di dalam parlemen meski setiap partai politik patuh untuk melibatkan minimal 30% perempuan dalam pendirian maupun dalam kepengurusan partai sesuai UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. 


Jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif baik tingkat kabupaten hingga pusat akan berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan yang berpijak dan ramah pada perempuan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diriku yang Lain

Pagi ini aku bangun dan mendapati diriku yang lain sedang terbaring tepat di sisiku. Aku tak terkejut sama sekali. Ia berraga seperti aku. Ia memakai gaun hitam panjang hingga menutupi kedua lututnya. Ia tidur dengan pulas dan penuh damai, layaknya orang mati. Ekspresinya kosong. Aku tidak tahu sejak kapan dia hadir di situ.  Yang aku ingat sepanjang malam aku menangis sambil memaki diri sendiri sebagai manusia rapuh dan tidak berguna, menyesali kesalahan yang aku perbuat. Ah, aku baru ingat pintu-pintu gereja telah ditutup. Bukan hanya gereja di depan jalan masuk kampung, tapi semua kota. Mereka bilang ini gara-gara virus Corona. Sialan benar virus itu, yang sudah membikin banyak orang lebih takut terjangkit dan kemudian mati, dari pada khawatir dengan kesenangan poligami dan menelantarkan anak-anak mereka. Tetapi Gereja telah tutup. Itu berarti tidak ada sakramen pertobatan untuk menyambut paskah kali ini.  Aku semakin membenci diriku sendiri. Aku benci dengan kebodohan-kebodohan yan

Larantuka, Toleransi Umat Beragama yang Bukan Puisi

Di bulan September 2020 lalu, saya diajak oleh dosen saya, Ibu Rini Kartini untuk terlibat dalam peliputan toleransi umat beragama di Larantuka. Bagi saya, selama 4 hari di kota Larantuka untuk tujuan produksi itu seperti mengajak saya pulang dan melihat lebih jauh tentang kota ini.  *** Saya lahir di Larantuka, kota kecil di bagian timur Flores. Saking kecilnya, orang sangat akrab dengan kalimat macam ini; " ke atas ko? " atau " ke bawah ko? ". Kalimat itu dilontarkan oleh para konjak (istilah untuk seseorang yang membantu sopir mikrolet) saat menawarkan jasa angkutan mereka.  Kota kecil ini bisa dikelilingi hanya seharian, itu pun dengan jalan kaki. Bisa juga tidak sampai sehari, jika menggunakan sepeda motor.  Orang-orang mengenalnya dengan kota tua, kota Ratu, atau kota Renha, tempat kerajaan Katolik tertua satu-satunya di Nusantara berdiri hingga kini. Kapela Tuan Ana yang ada di kota Larantuka. (Foto: google) Saya tumbuh di kota yang sederhana ini;