Langsung ke konten utama

Larantuka, Toleransi Umat Beragama yang Bukan Puisi


Di bulan September 2020 lalu, saya diajak oleh dosen saya, Ibu Rini Kartini untuk terlibat dalam peliputan toleransi umat beragama di Larantuka. Bagi saya, selama 4 hari di kota Larantuka untuk tujuan produksi itu seperti mengajak saya pulang dan melihat lebih jauh tentang kota ini. 


***

Saya lahir di Larantuka, kota kecil di bagian timur Flores. Saking kecilnya, orang sangat akrab dengan kalimat macam ini; "ke atas ko?" atau "ke bawah ko?". Kalimat itu dilontarkan oleh para konjak (istilah untuk seseorang yang membantu sopir mikrolet) saat menawarkan jasa angkutan mereka. 

Kota kecil ini bisa dikelilingi hanya seharian, itu pun dengan jalan kaki. Bisa juga tidak sampai sehari, jika menggunakan sepeda motor. Orang-orang mengenalnya dengan kota tua, kota Ratu, atau kota Renha, tempat kerajaan Katolik tertua satu-satunya di Nusantara berdiri hingga kini.

Kapela Tuan Ana yang ada di kota Larantuka. (Foto: google)


Saya tumbuh di kota yang sederhana ini; kafe, minimarket, pertokoan dan pasar, warung makan, dan restoran yang bisa mempertemukan semua orang; bangunan-bangunan yang tidak terlalu mencolok; pelabuhan yang ramai; pantai yang cantik dan yang tak kalah unik adalah kapela-kapela (bangunan untuk umat Katolik berdoa) yang sangat mudah dijumpai di mana-mana. 

Dan di kota kecil yang tampak biasa ini, saya justru baru menyadari bahwa Larantuka tidak hanya sederhana, atau kecil, tetapi istimewa.

Di lingkungan sekolah dasar saya didominasi oleh teman-teman muslim. Teman-teman saya saat itu belum berjilbab (mereka akan berjilbab saat SMP). Saat pelajaran agama di mulai, saya bersama beberapa teman lainnya meninggalkan kelas. Kami belajar pendidikan agama Katolik di sebuah ruangan yang disiapkan sekolah. Di ruangan itu kami letakan lilin dan patung untuk berdoa (sebagai mana dilakukan menurut tradisi Katolik). 

Pernahkah saya merasa kecil karena saya Katolik? Tentu saja tidak. Pernahkah saya di-bully karena saya Katolik dan melakukan hal-hal yang berbeda yang tidak dilakukan oleh teman-teman muslim saya? Tentu saja tidak. Saya dan teman-teman Katolik semasa SD tidak pernah merasakan pengalaman itu. Kami selalu bermain bersama, tanpa merasa kami berbeda. 

Saat SMP dan SMA, jumlah teman-teman muslim di kelas tidak sebanyak yang saya temukan saat di SD dulu. Pun begitu, kami tetap bermain bersama. Tidak ada penolakan apapun hanya karena beda agama. 

Belakangan, saya tahu bahwa itulah yang disebut toleransi beragama yang materinya tidak hanya kami dapat saat duduk di ruang-ruang kelas berjam-jam, tapi juga yang telah turut mengakar di antara kami. 

Di Larantuka, umat muslim memeluk umat Katolik dan umat Katolik memeluk umat muslim. Natal dan tahun baru bukanlah perayaan agama dan ritual keluarga Katolik belaka, tapi juga pesta kami bersama. Idul Fitri dan Idul Adha bukan hanya dirayakan oleh umat muslim. 

Saat natal dan tahun baru tiba, kami bermain petasan bersama, membuat kota bising dengan knalpot racing ala anak-anak nakal, dan keesokan harinya para sahabat, kenalan dan keluarga yang beragama muslim bertandang ke rumah dan memberi selamat. Saat Idul Fitri dan Idul Adha, teman-teman dan keluarga Katolik datang dan merayakan pesta itu. Terkadang acara seperi natal bersama, Idul Fitri atau Idul Adha bersama, sampai buka puasa bareng sangat sering dilakukan, dan tiap-tiap tahun ritual ini tidak pernah hilang.

Tak hanya itu, di banyak rumah di Flores Timur,  ada dua hingga tiga agama dalam serumah. Mereka hidup damai dan tidak pernah ada ketegangan dan masalah. Masing-masing tidak menganggap diri berbeda hanya karena agama. Masing-masing tidak menganggap diri besar dan kecil, minoritas dan mayoritas. 


Masjid Syuhada
Masjid Syuhada yang berdiri megah di tengah kota dan dibangun bertahun-tahun itu adalah wujud lain dari toleransi umat beragama di Larantuka. Mesjid itu didirikan bahu-membahu, tak hanya materi tetapi juga tenaga. Hampir semua lapisan masyarakat turut menyumbang; termasuk umat Katolik secara pribadi dan juga gereja-gereja. Dari cerita Mama saya, saat itu anak-anak muda Katolik dari rumah ke rumah mengumpulkan sumbangan untuk pembangunan mesjid tersebut.
Bahkan saat pengecoran fondasi mesjid yang harus diselesaikan dalam waktu sehari, sekolah-sekolah dan masyarakat lain turut terlibat dan pekerjaan dapat diselesaikan sesuai rencana.

Saya pandangi bangunan megah yang hampir selesai itu. “Mesjid ini bukan hanya milik umat muslim. Ini milik semua orang. Ini milik saya juga.” 

Indah Mukin, saya, dan Ibu Rini Kartini berdiri membelakangi Mesjid Syuhada Larantuka. 

Di banyak pertemuan dengan beberapa narasumber, saya terkagum-kagum dengan cerita mereka tentang toleransi dan tidak ada konflik antar kelompok yang pantas disebut sebagai konflik agama. Itu tidak pernah terjadi.

Jika ditarik lebih jauh, masyarakat Flores Timur telah mampu mengidentifikasi diri sebagai Katolik Lamaholot dan Islam Lamaholot. Argumen kolektif ini saya dengar dari banyak narasumber yang kami temui.

"Toleransi yang tinggi adalah warisan budaya Lamaholot yang kuat dan mengakar, bahkan telah ada jauh sebelum agama masuk." Ini kalimat Pak Bernad Tukan, seorang budayawan dan juga bagian dari FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) di Flores Timur yang sempat kami temui di Larantuka.
***

Kerukunan beragama di Larantuka bukan hanya sekedar puisi, layaknya lagu "Bukan Puisi" karya Black Finit. Di Larantuka toleransi adalah cara hidup, budaya, dan kebanggaan orang-orang di sana, termasuk saya.

***

*Ini cara saya untuk merawat kebersamaan, toleransi, dan keberagaman. Bagaimana cara kamu? Kabarkan dan sebarkan pesan baik untuk merawat kebersamaan, toleransi, dan keberagaman kamu dengan mengikuti lomba "Indonesia Baik" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio), syaratnya bisa Anda lihat di sini.

*Hasil liputan toleransi beragama di Larantuka oleh Maumere TV bisa ditonton di sini Masa Depan Toleransi (1/2) dan Masa Depan Toleransi (2/2)


Komentar

  1. The best memang...🔥🔥 Panutan untuk saya dan teman2...terus berkarya kaka id...

    BalasHapus
  2. Bergetar hati saya membaca tulisan kakak, dengan tulisan ini saya menjadi yakin dan sangat yakin bahwa Indonesia akan selalu menjadi Indonesia dengan segala macam warnanya, Terima kasih telah menghadirkan tulisan ini, semoga lebih banyak anak anak bangsa yang tersadar bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk hadirkan cinta pada Indonesia. Semoga kakak dan keluarga selalu sehat dan sukses. Salam kenal dari El, boleh mampir ke IG kecil saya @muhammadelmialansya

    BalasHapus
  3. Izin bagikan juga ya, terima kasih

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jumlah Anggota DPRD Perempuan di Kab/Kota se-NTT Belum Capai 10%

  Jumlah anggota DPRD perempuan Kab/Kota se-NTT belum pernah mencapai 10% sejak 2015 hingga 2022. Jumlah ini masih berkisar dari 8,14%-9,38%.  Di tahun 2015, setahun setelah pemilu 2014, menjadi persentase tertinggi jumlah anggota DPRD perempuan di NTT yaitu 9,38% atau 61 perempuan dari 650 orang. Sedangkan pada periode pemilu 2019, jumlah perempuan yang duduk di kursi DPRD tingkat Kab/Kota se-NTT sebesar 8,98% dari jumlah anggota DPRD laki-laki atau 58 perempuan dari 646. Angka ini menunjukan rendahnya keterlibatan perempuan di dalam parlemen meski setiap partai politik patuh untuk melibatkan minimal 30% perempuan dalam pendirian maupun dalam kepengurusan partai sesuai UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.  Jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif baik tingkat kabupaten hingga pusat akan berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan yang berpijak dan ramah pada perempuan. 

Diriku yang Lain

Pagi ini aku bangun dan mendapati diriku yang lain sedang terbaring tepat di sisiku. Aku tak terkejut sama sekali. Ia berraga seperti aku. Ia memakai gaun hitam panjang hingga menutupi kedua lututnya. Ia tidur dengan pulas dan penuh damai, layaknya orang mati. Ekspresinya kosong. Aku tidak tahu sejak kapan dia hadir di situ.  Yang aku ingat sepanjang malam aku menangis sambil memaki diri sendiri sebagai manusia rapuh dan tidak berguna, menyesali kesalahan yang aku perbuat. Ah, aku baru ingat pintu-pintu gereja telah ditutup. Bukan hanya gereja di depan jalan masuk kampung, tapi semua kota. Mereka bilang ini gara-gara virus Corona. Sialan benar virus itu, yang sudah membikin banyak orang lebih takut terjangkit dan kemudian mati, dari pada khawatir dengan kesenangan poligami dan menelantarkan anak-anak mereka. Tetapi Gereja telah tutup. Itu berarti tidak ada sakramen pertobatan untuk menyambut paskah kali ini.  Aku semakin membenci diriku sendiri. Aku benci dengan kebodohan-kebodohan yan