Langsung ke konten utama

Hasil Observasi Saya tentang Wuring

Wuring adalah sebuah kampung Bajo di kota Maumere. Tahun lalu, sepanjang 2020, saya terlibat untuk melakukan riset di kampung tersebut, bersama teman-teman komunitas KAHE. Dalam proses riset itu, kami juga berkesempatan untuk live in. Saya melakukan live in di bagian timur kampung. Namanya Leko, sebuah lokasi yang reklamasinya melengkung, menyerupai teluk kecil.

Saya tinggal di sebuah rumah apung. Rumahnya tidak terlalu besar, terbagi dalam tiga ruangan: ruang depan, ruang tamu, dan dapur. Di depan dan belakang rumah ada teras, ukurannya kira-kira 3*1 meter. Teras depan dipakai untuk menyimpan pelampung, pukat, dan pendayung. Sedangkan di teras belakang, dipakai untuk mencuci pakaian dan mandi, dan untuk buang air. Ruang tamu ada televisi, dan di rak-rak meja tivi, sang ibu menyimpan beberapa perkakas seperti piring dan cangkir. Di depan pintu masuk, terus ke dapur hanya dibatasi dengan rak piring. Jeriken air berjejer di dekat dinding. Jeriken itu adalah jeriken bekas kemasan oli dan minyak goreng. Lantai dari sebagian ruang depan yang berjejer jeriken itu hingga ke dapur terbuat dari bilah-bilah bambu. Ada lubang yang dibuat persegi, ditutup dengan papan sikat. Tempat itu kadang dipakai untuk mencuci piring, mencuci pakaian, hingga mandi.

Saya menginap dengan seorang kawan perempuan. Di ruang depan, sang tuan rumah membagi ruangan dengan kain panjang. Kain itu seolah menjadi dinding, agar terhalang dari pandangan saat tidur. Kami tidur beralaskan karpet tebal, tanpa kasur atau spon. 
Malam dengan cahaya lampu dari rumah-rumah tetangga, dan cahaya bulan yang terang, sambil tiduran, kami bisa melihat air laut dari celah-celah papan yang menjadi lantai rumah itu. Suara-suara dari jembatan bambu yang berderit, riak-riak kecil air laut, lalu-lalang perahu, suara tirisan air, dan suara dari desiran angin laut bergantian mampir di telinga. Sehari saja, kau akan terbiasa dengan itu. 

Seperti orang Bajo pada umumnya, ada tiang tengah dari rumah itu. Pada tiang tengah bergantung setandan pisang yang sudah mengering, sebotol air, dan lilitan kain putih. Di dalam kain putih itu ada emas. (Kalau saat membangun rumah, orang Maumere pada umumnya menanam emas di salah satu sudut pondasi rumah.) Emas dipercaya membawa keberuntungan dan rejeki. Tiang tengah bagi orang Bajo sebagai tempat untuk menghormati nenek moyang. Jadi saat membangun rumah, tiang tengah harus didirikan terlebih dahulu. Perlu diketahui, tiang tengah bukan peyokong rumah itu. 

Saya kemudian menyadari satu hal, kami tak punya kamar mandi atau toilet dengan baik, saya harus pakai lipa, menutup pintu dapur agar tak ada yang keluar dari rumah, lalu duduk di teras rumah belakang. Ada pembatas atau penghalang yang tingginya tak sampai semeter. Saat duduk, dari luar bakal terlihat kepala. Itu cara kami (saya dan mereka) untuk buang air. Lipa akan menjadi basah, jadi saya harus menjemurnya kembali setelah memakainya.

Setiap pagi, hal yang saya lakukan adalah menjulurkan kaki laut. Saat pagi biasanya air sedang pasang naik, dan kaki-kaki saya akan mengenai air laut. Itu hal menyenangkan yang lain. Air laut di sekitar Leko tidak bening. Benar-benar hijau gelap. Barangkali karena timbunan sampah di dasarnya sudah banyak. Selain itu, di dekat Leko ada pabrik tahu dan tempe. Limbah pabrik dibuang ke laut. 
"Kalau musim barat, sampah-sampah dari Maumere datang ke sini. Sampah nih bukan hanya dari kami, tapi kita semua." Orang Wuring sering mengatakan ini pada kami, jika kami sudah menyinggung soal sampah. Tapi namanya sampah di laut, tentu dibawa oleh ombak dan mungkin berkumpul di Wuring.
Kami menginap selama 5 hari. Kawan saya demam setelah malam pertama menginap. Selain karena sehari sebelumnya kami pergi ke Taka Minang (sebuah pulau pasir), dia bilang karena dingin. Di Wuring memang dingin pada saat itu.

Wuring, bagi saya adalah kampung yang estetik. Mayarakat dan cara hidup mereka selalu menarik dan unik. Tentang perempuan, anak, dan waria, tentang pendidikan dan akses kesejahteraan. Secara politis dan ekonomi, Wuring selalu jadi perhatian, meski oleh sebagian masyarakat Maumere hanya mengenal mereka tsebatas pasar Wuring atau  sebagai tempat bongkar ikan. Meski kadang terkesan terpinggirkan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Larantuka, Toleransi Umat Beragama yang Bukan Puisi

Di bulan September 2020 lalu, saya diajak oleh dosen saya, Ibu Rini Kartini untuk terlibat dalam peliputan toleransi umat beragama di Larantuka. Bagi saya, selama 4 hari di kota Larantuka untuk tujuan produksi itu seperti mengajak saya pulang dan melihat lebih jauh tentang kota ini.  *** Saya lahir di Larantuka, kota kecil di bagian timur Flores. Saking kecilnya, orang sangat akrab dengan kalimat macam ini; " ke atas ko? " atau " ke bawah ko? ". Kalimat itu dilontarkan oleh para konjak (istilah untuk seseorang yang membantu sopir mikrolet) saat menawarkan jasa angkutan mereka.  Kota kecil ini bisa dikelilingi hanya seharian, itu pun dengan jalan kaki. Bisa juga tidak sampai sehari, jika menggunakan sepeda motor.  Orang-orang mengenalnya dengan kota tua, kota Ratu, atau kota Renha, tempat kerajaan Katolik tertua satu-satunya di Nusantara berdiri hingga kini. Kapela Tuan Ana yang ada di kota Larantuka. (Foto: google) Saya tumbuh di kota yang sederhana ini;...

Are Indonesian Universities Failing to Protect the Victims of Sexual Assault?

Are Indonesian Universities Failing to Protect the Victims of Sexual Assault? Analisis salah satu tayangan Vice Indonesia, pertama kali tayang di kanal youtube Vice pada 7 April 2019 Tema Penangan pelecehan seksual di kampus Indonesia  Latar Belakang Produksi Berangkat dari pengakuan dari korban pelecehan seksual bernama Agni (bukan nama sebenarnya), yang dilecehkan oleh HS, seorang mahasiswa rekan KKN saat melakukan KKN di Maluku pada 2017. Agni dan HS adalah mahasiswa UGM (Universitas Gadjah Madah) Yogyakarta. Kasus ini mencuat saat ia menuntut ketidakadilan atas nilai KKN yang diperoleh serta tidak ada tindakan serius oleh beberapa pihak tempat ia melapor. Banyak riset yang menyebutkan bahwa, minimnya bukti bahkan nyaris tidak ada, membuat orang-orang tidak mempercayai kasus semacam ini. Tak hanya itu, budaya patriarki yang kuat menyebabkan masyarakat cenderung menyalahkan korban, bahkan melanggengkan pelecehan seksual yang terjadi termasuk di ranah kampus sekalipun. Ruang aman ...

Mau Bikin Liputan? Mulailah dengan Perencanaan

Saatbuat konten jurnalistik apapun, entah dalam bentuk tulisan, foto, ataupun video, kamu tak hanya perlu perangkat pendukung seperti recorder, kamera, tripod, smartphone, clip-on, dan lain-lain. Soal alat, itu bisa jadi kebutuhan nomor dua. Artinya, di atas itu, ada yang lebih penting, yaitu perencanaan.  Pada umumnya, tahap perencanaan masuk dalam tahap pra-produksi. Tujuan perencanaan agar saat memulai produksi alias turun lapangan, kita tak kelabakan dan tahu mau ngapain aja. Dengan perencanaan yang bagus, akan menghemat biaya produksi dan waktu.  Berikut ini cara-cara membuat perencanaan liputan: 1. Tema Ada banyak hal disekitar kita yang bisa dijadikan tema liputan. Cara menemukannya (lebih tepat: menangkapnya) adalah dengan menajamkan kepekaan terhadap segala sesuatu. Mulailah dengan pertanyaan apa yang menarik dari hal ini atau tempat ini? 2. Lokasi Tentukan di mana saja lokasi yang perlu kamu datangi untuk membuat liputan tersebut, seperti lokasi tempat ti...