Langsung ke konten utama

Apakah Orang Indonesia sudah Melek Literasi Digital?


Media sosial kerap dipakai sebagai medium untuk mencurahkan protes, kritik, dan suara perlawanan kepada kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasa kurang adil dan tepat. Salah satu contohnya adalah pembatalan vaksin berbayar. Komersialisasi vaksin ini telah menjadi wacana sejak 2020 hingga pada 11 Juli 2021, Kimia Farma tiba-tiba mengumumkan penjualan vaksin gotong-royong untuk individu. Beberapa pejabat seperti Puan Maharani dan Moeldoko kompak mendukung keputusan ini. Warga tak tinggal diam. Melalui media sosial, netizen meluncurkan kritik. Alhasil, vaksinasi berbayarpun dibatalkan. Gerakan ini kemudian oleh sebagian orang disebut aktivisme digital.

Jika kamu adalah pengguna sosial media aktif (khususnya instagram), maka kamu akan dengan mudah menjumpai berbagai macam akun media sosial yang aktif berkampanye dengan beragam isu. Tak hanya kampanye atau kritik, gerakan-gerakan solidaritas seperti #temanbantuteman juga dimulai dari sebuah unggahan media sosial, yang kemudian terjaring dan berkembang menjadi sebuah gerakan yang masif dan menjadi perhatian bersama. Mungkin ini sisi baiknya dari kebiasaan orang Indonesia yang menghabiskan banyak waktu untuk menatap handphone. Apakah ini buah dari literasi media? Mari lihat fakta berikut.

Fakta pertama, hasil riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat 60 dari 61 negara dengan minat baca. Fakta kedua, pengguna aktif media sosial Indonesia mencapai 170 juta dari 274,9 juta jiwa atau 61,8% dari total populasi pada Januari 2021 (laporan We Are Social; “Digital 2021, The Latest Insights Inti The State of Digital”. Dari dua fakta ini, justru yang mencengangkan adalah, pengguna media sosial Indonesia masuk kategori paling tidak ramah di dunia. 

Jadi apakah orang Indonesia sudah melek literasi digital?

(bersambung)

Komentar

  1. Jika dilihat dari dua fakta itu sepertinya belum meskipun aktivisme digital semakin banyak . Apa yang menjadi tolak ukur seseorang disebut aktivisme digital?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Larantuka, Toleransi Umat Beragama yang Bukan Puisi

Di bulan September 2020 lalu, saya diajak oleh dosen saya, Ibu Rini Kartini untuk terlibat dalam peliputan toleransi umat beragama di Larantuka. Bagi saya, selama 4 hari di kota Larantuka untuk tujuan produksi itu seperti mengajak saya pulang dan melihat lebih jauh tentang kota ini.  *** Saya lahir di Larantuka, kota kecil di bagian timur Flores. Saking kecilnya, orang sangat akrab dengan kalimat macam ini; " ke atas ko? " atau " ke bawah ko? ". Kalimat itu dilontarkan oleh para konjak (istilah untuk seseorang yang membantu sopir mikrolet) saat menawarkan jasa angkutan mereka.  Kota kecil ini bisa dikelilingi hanya seharian, itu pun dengan jalan kaki. Bisa juga tidak sampai sehari, jika menggunakan sepeda motor.  Orang-orang mengenalnya dengan kota tua, kota Ratu, atau kota Renha, tempat kerajaan Katolik tertua satu-satunya di Nusantara berdiri hingga kini. Kapela Tuan Ana yang ada di kota Larantuka. (Foto: google) Saya tumbuh di kota yang sederhana ini;...

Jurnalisme Warga

Jurnalisme warga atau Citizen Journalism dapat diartikan sebagai prakterk jurnalisme yang dilakukan oleh orang biasa. Orang biasa yang dimaksud adalah mereka yang bukan wartawan yang bekerja di media profesional. Dengan jurnalisme warga, setiap orang bisa membuat berita dan mendistribusikan informasi secara global. Jurnalisme warga ini  mengembangkan new media  di berbagai daerah yang didukung dengan teknologi.  Jurnalisme warga turut melahirkan media-media indie yang memfasilitasi dan terbuka untuk semua orang untuk memproduksi berita dan menyebarkan informasi yang mereka miliki.  Ada 6 kategori jurnalisme warga 1. Audience Participation 2. Independent News  3. Situs Berita Partisipatoris Murni 4. Colaboratif & Contributory 5. Personal Boarcasting Site Tantangan dari jurnalisme warga adalah akurasi, kredibilitas dan ketaatan pada kode etik jurnalistik. Saking bebasnya mengeksplorasi informasi, warga yang memproduksi berita tidak menggunakan kaid...

Jumlah Anggota DPRD Perempuan di Kab/Kota se-NTT Belum Capai 10%

  Jumlah anggota DPRD perempuan Kab/Kota se-NTT belum pernah mencapai 10% sejak 2015 hingga 2022. Jumlah ini masih berkisar dari 8,14%-9,38%.  Di tahun 2015, setahun setelah pemilu 2014, menjadi persentase tertinggi jumlah anggota DPRD perempuan di NTT yaitu 9,38% atau 61 perempuan dari 650 orang. Sedangkan pada periode pemilu 2019, jumlah perempuan yang duduk di kursi DPRD tingkat Kab/Kota se-NTT sebesar 8,98% dari jumlah anggota DPRD laki-laki atau 58 perempuan dari 646. Angka ini menunjukan rendahnya keterlibatan perempuan di dalam parlemen meski setiap partai politik patuh untuk melibatkan minimal 30% perempuan dalam pendirian maupun dalam kepengurusan partai sesuai UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.  Jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif baik tingkat kabupaten hingga pusat akan berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan yang berpijak dan ramah pada perempuan.