Langsung ke konten utama

Apa yang Kerap Dirasakan Oleh Anak Perempuan yang Tumbuh dalam Budaya Patriarki?

Apa yang kerap dirasakan oleh anak perempuan yang tumbuh dalam budaya patriarki? 

“Sebagai perempuan, saya merasa dirugikan dalam budaya ini. Saya merasa tidak adil.” Kata saya suatu kali kepada sahabat saya, juga seorang perempuan. Siang itu kami ngobrol cukup lama. Ia tidak kaget dengan pernyataan saya. Mungkin karena kami sama-sama perempuan, sama-sama tumbuh dalam budaya patriarki yang kuat, dan acap kali merasakan sebagai yang terpinggirkan di lingkungan sosial, terlebih dalam rumah.

Semasa remaja, anak perempuan diajarkan untuk mengambil peran di dapur, mencuci pakaian sekeluarga, mengurusi adik-adik, membersihkan rumah, dan lain-lain. Anak perempuan diijinkan pergi dengan teman-temannya jika semua pekerjaan di rumah selesai. Anak perempuan tidak boleh pulang terlambat. Keharusan ini tidak berlaku bagi anak laki-laki. 

Tak hanya dengan perlakuan, anak perempuan dibesarkan dengan narasi-narasi macam: “anak perempuan harus lemah-lembut, sopan, pintar masak, dan tahu urus rumah”, “buat apa sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya toh di dapur”, “kau kan perempuan, jadi itu sudah jadi kau punya tugas”, “tidak usah sekolah, di rumah saja. Pasti ada yang datang lamar”, “anak perempuan jangan merantau jauh-jauh”, dan lain-lain.

Di satu sisi anak laki-laki, bagaimanapun, selalu diprioritaskan, dipercaya, dan diberi tanggung jawab. Anak perempuan dikelasduakan oleh orang tua, dan juga saudara lelaki mereka sendiri. Meski soal kemampuan, anak perempuan tidak kalah hebat dengan anak laki-laki. 

Apa yang membuat saya merasa ini tidak adil? 

“Saya tidak dapat warisan.” Kata saya, tertawa. Orang sudah tahu soal ini, anak perempuan, akan menikah dan pergi dengan suaminya. Tak perlu tanah dan ladang untuk bertani, dan membangun rumah. Anak perempuan tak berhak atas harta orang tua mereka.

Kedua, meski telah dewasa dan berpendidikan, pendapat anak perempuan tetap saja tidak didengar. Kan berpendidikan buat cari kerja, bukan untuk terlibat dalam mengambil keputusan di rumah? 
 
Ketiga, yang paling pelik, perkara belis. Makin tinggi pendidikan perempuan, makin tinggi juga harga belis. Loh, kan kasih kuliah anak perempuan biar pintar dan bisa hidup dengan baik, bukan jadi alasan untuk belis, bukan? 

Keempat, meski perempuan telah dianggap setara, memiliki pekerjaan dan penghasilan, posisi yang baik di ranah pekerjaan mereka, perempuan  kesulitan menjalani peran ganda sebagai wanita karir selama menikahi laki-laki yang tumbuh dalam budaya patriarki yang kuat, (apalagi kalo dapat mertua yang tidak paham kesetaraan). Ini jadi biang kerok KDRT. 

Kelima, perempuan jika jadi korban pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga, pengakuan mereka jarang didengar dan sering diabaikan. Masyarakat kerap membenarkan dan melanggengkan perlakuan tidak adil atas perempuan.
  
Barangkali, ini masih sebagian kecil dari yang paling sering dirasakan oleh anak perempuan yang dibesarkan dalam budaya patriarki. Nilai penghargaan harusnya menjadi hak dari semua manusia, termasuk tanpa melihat gender.*

#setara
#knowing #forgiving #loving


Komentar

  1. Sepakat kk saya juga mersah demikian, tapi sayang setiap ada kesempatan meski sekedar basa-basi mengatakan itu selalu di bantah bhwasbahwa kodrat perempuan memegang demikian😔

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Larantuka, Toleransi Umat Beragama yang Bukan Puisi

Di bulan September 2020 lalu, saya diajak oleh dosen saya, Ibu Rini Kartini untuk terlibat dalam peliputan toleransi umat beragama di Larantuka. Bagi saya, selama 4 hari di kota Larantuka untuk tujuan produksi itu seperti mengajak saya pulang dan melihat lebih jauh tentang kota ini.  *** Saya lahir di Larantuka, kota kecil di bagian timur Flores. Saking kecilnya, orang sangat akrab dengan kalimat macam ini; " ke atas ko? " atau " ke bawah ko? ". Kalimat itu dilontarkan oleh para konjak (istilah untuk seseorang yang membantu sopir mikrolet) saat menawarkan jasa angkutan mereka.  Kota kecil ini bisa dikelilingi hanya seharian, itu pun dengan jalan kaki. Bisa juga tidak sampai sehari, jika menggunakan sepeda motor.  Orang-orang mengenalnya dengan kota tua, kota Ratu, atau kota Renha, tempat kerajaan Katolik tertua satu-satunya di Nusantara berdiri hingga kini. Kapela Tuan Ana yang ada di kota Larantuka. (Foto: google) Saya tumbuh di kota yang sederhana ini;...

Jurnalisme Warga

Jurnalisme warga atau Citizen Journalism dapat diartikan sebagai prakterk jurnalisme yang dilakukan oleh orang biasa. Orang biasa yang dimaksud adalah mereka yang bukan wartawan yang bekerja di media profesional. Dengan jurnalisme warga, setiap orang bisa membuat berita dan mendistribusikan informasi secara global. Jurnalisme warga ini  mengembangkan new media  di berbagai daerah yang didukung dengan teknologi.  Jurnalisme warga turut melahirkan media-media indie yang memfasilitasi dan terbuka untuk semua orang untuk memproduksi berita dan menyebarkan informasi yang mereka miliki.  Ada 6 kategori jurnalisme warga 1. Audience Participation 2. Independent News  3. Situs Berita Partisipatoris Murni 4. Colaboratif & Contributory 5. Personal Boarcasting Site Tantangan dari jurnalisme warga adalah akurasi, kredibilitas dan ketaatan pada kode etik jurnalistik. Saking bebasnya mengeksplorasi informasi, warga yang memproduksi berita tidak menggunakan kaid...

Jumlah Anggota DPRD Perempuan di Kab/Kota se-NTT Belum Capai 10%

  Jumlah anggota DPRD perempuan Kab/Kota se-NTT belum pernah mencapai 10% sejak 2015 hingga 2022. Jumlah ini masih berkisar dari 8,14%-9,38%.  Di tahun 2015, setahun setelah pemilu 2014, menjadi persentase tertinggi jumlah anggota DPRD perempuan di NTT yaitu 9,38% atau 61 perempuan dari 650 orang. Sedangkan pada periode pemilu 2019, jumlah perempuan yang duduk di kursi DPRD tingkat Kab/Kota se-NTT sebesar 8,98% dari jumlah anggota DPRD laki-laki atau 58 perempuan dari 646. Angka ini menunjukan rendahnya keterlibatan perempuan di dalam parlemen meski setiap partai politik patuh untuk melibatkan minimal 30% perempuan dalam pendirian maupun dalam kepengurusan partai sesuai UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.  Jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif baik tingkat kabupaten hingga pusat akan berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan yang berpijak dan ramah pada perempuan.