Langsung ke konten utama

Diriku yang Lain


Pagi ini aku bangun dan mendapati diriku yang lain sedang terbaring tepat di sisiku. Aku tak terkejut sama sekali. Ia berraga seperti aku. Ia memakai gaun hitam panjang hingga menutupi kedua lututnya. Ia tidur dengan pulas dan penuh damai, layaknya orang mati. Ekspresinya kosong. Aku tidak tahu sejak kapan dia hadir di situ. 
Yang aku ingat sepanjang malam aku menangis sambil memaki diri sendiri sebagai manusia rapuh dan tidak berguna, menyesali kesalahan yang aku perbuat. Ah, aku baru ingat pintu-pintu gereja telah ditutup. Bukan hanya gereja di depan jalan masuk kampung, tapi semua kota. Mereka bilang ini gara-gara virus Corona. Sialan benar virus itu, yang sudah membikin banyak orang lebih takut terjangkit dan kemudian mati, dari pada khawatir dengan kesenangan poligami dan menelantarkan anak-anak mereka. Tetapi Gereja telah tutup. Itu berarti tidak ada sakramen pertobatan untuk menyambut paskah kali ini. 
Aku semakin membenci diriku sendiri. Aku benci dengan kebodohan-kebodohan yang aku lakukan, mudah mempercayai orang lain atas nama cinta. Aku benci diabaikan dan tak dicintai. Aku benci menganggap diri orang paling malang di dunia. Aku benci menemukan diriku menangis layaknya seorang pecundang. Aku telah lelah berpura-pura bahwa aku baik-baik saja. Aku mati saja! Lagi pula jika aku mati, tidak akan ada yang peduli. 
Aku menangis sambil terus mengisi mulutku dengan isi botol-botol bir di depanku. Aku tahu tidak ada kesempatan lagi tahun ini untuk berubah, juga tahun-tahun selanjutnya. Rasanya aku ingin jadi orang lain, menemui diriku sendiri, lalu membunuhnya. Dunia telah penuh dengan para pecundang. Kehilangan satu tidak berarti apa-apa. Itu yang aku lakukan semalam; menangis, memaki, dan minum. Begitu terus sampai lelah datang dan aku tertidur dengan botol-botol kosong di bawah kakiku hingga pagi datang.
Kini aku mendapati diriku yang lain tidur di sampingku dengan gaun hitam. Menurutku dia tidak cantik. Matanya sembab. Ia tampak kusut dan rambutnya yang tidak diikat itu menutupi sebagian wajahnya. Ia masih tidur dengan nyenyak. Tanpa dengkuran. Tatapanku tak mengusiknya sama sekali dan itu membuatku semakin jengkel. Bagaimana bisa dia tidur dengan pulas seperti itu di depanku? Tidakkah dia secemas aku? 
Dia adalah diriku yang lain, yang pecundang, yang bodoh, dan yang tak berguna. Aku membencinya. Lalu aku memberi nama padanya; Aku Yang Gila Dan Ingin Mati Muda. 
Lalu aku beranjak. Dengan dua tanganku yang kokoh, aku memegang kedua lengannya, menarik tubuhnya yang lemas turun dari tempat tidur. Ia tak terkejut sama sekali apa lagi terbangun. Kedua kakinya membentur lantai dari papan. Aku tak peduli apakah dia akan kesakitan atau tidak. Aku menyeretnya keluar dari kamar, melewati dapur, lalu ruang tamu. Dengan terengah-engah aku berhasil mengeluarkannya lewat pintu rumah. Lalu aku mendudukkannya. Kedua lututnya menopang kepalanya. Aku kembali ke kamar, hendak mengambil selimut untuk membungkus tubuhnya. Ini masih pagi dan langit di ufuk timur mulai terang. Tapi kampung ini hidup dan tak pernah tidur dengan pulas. Jangan sampai ada yang tahu aku telah menjadi sebringas ini. 
Aku kembali dengan selimut, kemudian menutupi tubuhnya. Sekarang ia layaknya sebuah karung berisi pelampung-pelampung pukat. Aku menuruni tangga. Masuk ke dalam kolong rumah, bersedia basah dari kaki hingga pinggang. Dinginnya air laut membuatku menggigil sebentar. Aku membuka tali tautan perahu lalu menyeretnya mendekati tangga rumah. 
Aku menaiki tangga, membopong tubuh yang tidur pulas itu. Bangsat! Dia masih saja tidur. Aku menuruni tangga itu dengan hati-hati lalu menjatuhkan dirinya di atas perahu. Bangsat! Dia semakin pulas. Aku naik ke perahu, mulai mendayung perahu. Saat agak jauh dari rumah, aku menghidupkan ketinting. Perahu membawa aku dan Aku Yang Gila Dan Ingin Mati Muda ke barat, ke tengah-tengah laut. Jauh hingga tidak ada lagi pemukiman warga yang tampak, tidak ada kapal yang melintas, tidak ada pulau-pulau. 
Aku beraksi. Aku duduk di atas tubuhnya yang terlentang itu, mengambil pisau, menggenggam pisau itu dengan kedua tanganku kuat-kuat, lalu mulai menghunuskan pisau itu ke tubuhnya, tepat di jantungnya. Tidak ada respon apapun dari tikaman pertama. Darah segar muncrat ke arahku. Tikaman berlanjut ke perut, dada bagian kanan dan kiri, lalu ke seluruh dada dan perut, berulang-ulang. Aku dalam eranganku dan tarikan napas yang lelah bergantian dengan hitungan tikaman hingga ke lima puluh enam. Kau harus mati. Aku Yang Gila Dan Ingin Mati Muda harus mati. 
Seketika perahuku berlumuran darah. Mesin dan pendayung perahu juga terciprat darah. Aku juga penuh darah, di wajah dan tubuh dan celana. Darah Aku  Yang Gila Dan Ingin Mati Muda yang telah bercampur dengan air laut menggenangi perahu, membasahi rambut dan tubuhnya yang terlentang, juga telapak kakiku. Bau asin dan darah yang menyatu benar-benar memberi aroma berbeda. 
Gaun hitam milik Aku Yang Gila Dan Ingin Mati Muda telah koyak sama seperti tubuhnya, dari dada hingga perutnya. Gaun itu tak beraturan lagi. Isi perutnya berceceran keluar. Kau telah mati. Kataku tenang. Keringatku mengalir dari dahi dan pelipis, lalu ke hidung dan jatuh ke mayatnya. Setetes demi setetes sambil menatap wajahnya yang masih tampak tidur. Tiupan angin laut yang dingin seolah mengusap butir-butir keringat di wajahku yang terus menetes itu. Rasanya sudah tiga jam aku di sini. Tapi warna langit masih sama. Tidak ada yang berubah.
Sekonyong-konyong aku tertawa. Jariku menunjuk-nunjuk ke wajah Aku Yang Gila Dan Ingin Mati Muda dengan kesenangan yang tidak pernah aku temukan sebelumnya. Lihat! Si Pecundang itu telah mati. Dia bahkan tidak memberi perlawanan apapun sejak aku menyeretnya keluar dari kamar hingga tikaman pertama. Dia pasti tidak tahu bahwa dia mati. Betapa bodohnya dia. Tawaku menggelegar, makin menjadi dan beradu dengan tiupan angin. Perahuku berayun-ayun dimainkan ombak. 
Dengan kekuatan yang tersisa, aku mengangkat tubuhnya lalu menjatuhkannya ke laut. Aku menatap mayatnya tenggelam ke dasar laut. Darah segar yang nampak di permukaan berbaur dengan air laut, memberi warna yang lain lagi. Barangkali siang nanti orang-orang akan heboh mendapati mayat perempuan muda terapung dengan tubuh hancur. Orang-orang akan menebak-nebak siapa pelakunya. Mungkin orang-orang akan mengutuk pembunuhnya. Tapi apakah mereka tahu bahwa dia memang pantas mati? Ah. Persetan apa yang mereka pikirkan. Mereka pasti sama pecundangnya dengan Aku Yang Gila Dan Ingin Mati Muda. Atau mungkin saja mereka adalah orang-orang yang membuat anak-anak mereka depresi dan ingin mati muda juga. 
Aku mulai lelah. Aku perlu pulang ke rumah untuk tidur kembali dengan damai. Apa lagi yang aku cemaskan? Aku telah sebahagia ini. Lagi dengan kekuatan yang tersisa, aku menarik starter ketinting. Bunyi mesin membelah pagi yang tak kunjung cerah. Masih dengan sedikit cahaya di ufuk. Sambil meninggalkan tempat itu, aku menggumam: Aku Yang Gila Dan Ingin Mati Muda telah mati dengan mengerikan dan aku sendirilah yang membunuhnya.
***
Pagi ini aku terbangun. Mama telah menyeduh kopi dan meletakkannya di dapur. Aromanya sampai ke kamarku. Cahaya yang memantul dari lidah-lidah air laut di kolong rumahku menerobos masuk melalui celah-celah lantai dari papan dan sebagian lagi dari bilah bambu, memberi terang pada dinding dan atap kamarku. Ini jam sembilan lewat dua puluh lima menit. 
Aku memaksa diri menuju dapur dan menemukan Mama sedang sibuk menggoreng ikan. Ia tak memakai jil babnya-hal biasa yang ia lakukan saat mengerjakan pekerjaan rumah. Baskom-baskom, kuali, dan periuk masih menggantung di dinding. Begitu pula dengan sendok-sendok kuah dan penggoreng. Semua masih pada tempatnya, tidak berubah. Kemana Bapa? Dia pasti telah pulang melaut dan singgah ke rumah istrinya yang lain, mungkin yang ke tiga atau yang ke lima. Barangkali ia sedang bermain-main dengan anak-anaknya yang baru.
Tanpa menyapa Mama, aku menjongkok. Aku mengambil kopiku yang ia punggungi dan pergi ke teras depan rumah,  tempat Bapa menaruh pelampung dan jala. Aku duduk, menyandarkan tubuh pada dinding. Kedua kakiku menjulur. Jembatan dari lima batang bambu membentang di depanku. Aku akan menghabiskan kopiku di sini saja.
"Aku telah membunuh diriku yang lain. Namanya Aku Yang Gila Dan Ingin Mati Muda" kataku pada diri sendiri, hampir tak kedengaran. 
Sebelum bibir mug blek berisi kopi itu bertemu bibirku, aku melihat seorang perempuan berjalan di atas jembatan bambu. Jembatan itu berderek-derek saat ia menjajaki selangkah demi selangkah. Berlahan-lahan ke arahku. Tubuhnya basah. Tetesan air jatuh dari rambut dan gaun hitamnya. Sepertinya aku mengenal perempuan ini. 
Ia berjalan semakin dekat. Semakin jelas wajahnya yang pucat dengan gaun hitam yang koyak. Aku bisa melihat perut dan dadanya yang penuh luka tikaman. Ia lalu berhenti semeteran dari tempat aku duduk. Ia menyeringai ngeri padaku. 
Aku sungguh mengenalnya. Dia adalah Aku Yang Gila Dan Ingin Mati Muda. Kini aku yang gemetaran. Mug blek itu jatuh dari genggamanku dan membentur lantai kayu. Isinya tumpah ruah ke laut. Kopi itu meninggalkanku dengan aromanya dan bunyi tirisan air.
“Apa yang kau lakukan, Sayangku?” tanyanya setengah berbisik. Suaranya lembut dan pasti. Kemudian ia menjongkok agar tatapannya sejajar denganku. Bola matanya berlarian kiri dan kanan mengikuti mataku. “Aku adalah dirimu yang kemarin. Aku masa lalumu. Sampai kapanpun aku akan terus mengikutimu. Yang perlu kau lakukan adalah berdamai denganku; dengan dirimu sendiri.” 
***


1 April 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jumlah Anggota DPRD Perempuan di Kab/Kota se-NTT Belum Capai 10%

  Jumlah anggota DPRD perempuan Kab/Kota se-NTT belum pernah mencapai 10% sejak 2015 hingga 2022. Jumlah ini masih berkisar dari 8,14%-9,38%.  Di tahun 2015, setahun setelah pemilu 2014, menjadi persentase tertinggi jumlah anggota DPRD perempuan di NTT yaitu 9,38% atau 61 perempuan dari 650 orang. Sedangkan pada periode pemilu 2019, jumlah perempuan yang duduk di kursi DPRD tingkat Kab/Kota se-NTT sebesar 8,98% dari jumlah anggota DPRD laki-laki atau 58 perempuan dari 646. Angka ini menunjukan rendahnya keterlibatan perempuan di dalam parlemen meski setiap partai politik patuh untuk melibatkan minimal 30% perempuan dalam pendirian maupun dalam kepengurusan partai sesuai UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.  Jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif baik tingkat kabupaten hingga pusat akan berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan yang berpijak dan ramah pada perempuan. 

Larantuka, Toleransi Umat Beragama yang Bukan Puisi

Di bulan September 2020 lalu, saya diajak oleh dosen saya, Ibu Rini Kartini untuk terlibat dalam peliputan toleransi umat beragama di Larantuka. Bagi saya, selama 4 hari di kota Larantuka untuk tujuan produksi itu seperti mengajak saya pulang dan melihat lebih jauh tentang kota ini.  *** Saya lahir di Larantuka, kota kecil di bagian timur Flores. Saking kecilnya, orang sangat akrab dengan kalimat macam ini; " ke atas ko? " atau " ke bawah ko? ". Kalimat itu dilontarkan oleh para konjak (istilah untuk seseorang yang membantu sopir mikrolet) saat menawarkan jasa angkutan mereka.  Kota kecil ini bisa dikelilingi hanya seharian, itu pun dengan jalan kaki. Bisa juga tidak sampai sehari, jika menggunakan sepeda motor.  Orang-orang mengenalnya dengan kota tua, kota Ratu, atau kota Renha, tempat kerajaan Katolik tertua satu-satunya di Nusantara berdiri hingga kini. Kapela Tuan Ana yang ada di kota Larantuka. (Foto: google) Saya tumbuh di kota yang sederhana ini;