Langsung ke konten utama

Masa Depan Lorun


Filosofi yang dianut oleh masyarakat NTT tertuang dalam tenun ikat. Tenun ikat mampu menarik banyak peminat. Dari tangan para mama-mama, mahakarya ini lahir. Saat masyarakat Sikka berbangga dengan tenun ikatnya, saya malah menemukan sebuah kecemasan. 

Jika menyusur jalan raya di desa Nita, tuan (irama hentakan kayu dalam proses menenun) yang lahir dari pati (sebilah kayu untuk merapatkan benang-benang) sesekali akan mampir di telinga. Akan dengan mudah pula menemukan mama-mama yang sedang menenun di halaman rumah mereka. Ini adalah pemandangan biasa di Kabupaten Sikka. 

Jika malam tiba, di Koligahar, suhu mencapai 18° Celcius. Biasanya pada musim dingin, tempat ini acap kali diselubungi kabut. Dan pagi itu matahari sudah mengusir embun yang tersisa semalam. 

Mama Lina, wanita berusia 60 tahun, adalah salah satu pengrajin tenun ikat di dusun ini. Saat saya memulai ngobrol dengannya, ia tengah menenun lipa, yaitu tenunan yang tidak melewati proses pewarnaan. 

Mama Lina telah menghabiskan lebih dari separuh umurnya untuk menenun. Ia telah menenun dari usia 15 tahun, saat tamat Sekolah Rakyat. Di usia remajanya, ia belajar menenun dari proses yang benar-benar dari nol yaitu menanam kapas, memanen, lalu mengolahnya menjadi benang, pewarnaan, lalu menenun. Pewarna berasal dari bahan-bahan alami. Warna hijau dari daun-daun hijau, hitam dan biru dari daun tarum, dan kuning dari kulit batang mangga. Olahan kulit akar dari pohon yang disebut bur atau buke oleh masyarakat setempat menghasilkan warna coklat. “Saya sudah lupa beberapa.” Katanya saat saya menanyai lebih banyak warna yang dihasilkan.

Itu dulu. Proses itu kini sangat jarang digunakan oleh pengrajin tenun ikat di Sikka. Perubahan zaman menciptakan kecendrungan bagi Mama Lina dan para pengrajin tenun lainnya untuk menggunakan bahan yang siap pakai ketimbang bahan-bahan mentah. Efisien waktu dan uang mungkin adalah alasannya.

 “Kalau pake kapas, waktu (yang dibutuhkan) lama, bisa dua sampai tiga tahun baru jadi sarung.” Imbuhnya. Selain itu Mama Lina tidak cukup mahir dalam proses pemintalan benang. Di tambah lagi alat-alat pada proses itu tidak ia miliki lagi. 

“Pakai pewarna alam itu juga lama, karena celupnya harus ulang-ulang.” Tambahnya. Untuk mendapat warna yang diinginkan, bagian tumbuhan yang diambil dan bahan lainnya sebagai pewarna diracik dahulu, baru dilakukan pewarnaan. Bukan sekali saja proses tersebut, tapi berulang-ulang hinggga warna yang diinginkan hadir pada benang yang akan ditenun. Pewarna dari pabrik justru memberikan hasil yang lebih terang.

Jika Mama Lina dan pengrajin tenun lainnya pun masih lupa-lupa ingat dengan pewarna alami dan lebih memilih memakai benang jadi, maka saya tak kaget saat ia mengatakan hanya satu anak muda yang tahu menenun, seorang guru muda di desa itu.

Sekarang tak banyak anak muda yang berminat untuk menenun, termasuk anak-anak perempuan di kampung. Kemampuan menenun seolah bergeser nilainya. Dahulu, setiap anak perempuan yang berinjak dewasa harus tahu menenun. Hal ini berbeda dengan sekarang. Apakah menjadi pengrajin tenun tidak menjanjikan? Atau minimnya informasi dan pendekatan untuk menarik minat mereka adalah salah satu alasan?
Beruntungnya di Lepo Lorun, Alfonsa Horeng, masih melakukan proses menenun secara tradisonal demi menjaga pelestarian warisan budaya. Sama seperti yang dilakukan Mama Lina kecil. Tinggal saja menarik minat generasi milenial untuk belajar. Jika bukan dari sekarang, saya tidak tahu seperti apa kelak.

***

Ditulis pada Agustus 2020 (setelah mengikuti kelas jurnalisme perjalanan oleh Valentino Louise. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Larantuka, Toleransi Umat Beragama yang Bukan Puisi

Di bulan September 2020 lalu, saya diajak oleh dosen saya, Ibu Rini Kartini untuk terlibat dalam peliputan toleransi umat beragama di Larantuka. Bagi saya, selama 4 hari di kota Larantuka untuk tujuan produksi itu seperti mengajak saya pulang dan melihat lebih jauh tentang kota ini.  *** Saya lahir di Larantuka, kota kecil di bagian timur Flores. Saking kecilnya, orang sangat akrab dengan kalimat macam ini; " ke atas ko? " atau " ke bawah ko? ". Kalimat itu dilontarkan oleh para konjak (istilah untuk seseorang yang membantu sopir mikrolet) saat menawarkan jasa angkutan mereka.  Kota kecil ini bisa dikelilingi hanya seharian, itu pun dengan jalan kaki. Bisa juga tidak sampai sehari, jika menggunakan sepeda motor.  Orang-orang mengenalnya dengan kota tua, kota Ratu, atau kota Renha, tempat kerajaan Katolik tertua satu-satunya di Nusantara berdiri hingga kini. Kapela Tuan Ana yang ada di kota Larantuka. (Foto: google) Saya tumbuh di kota yang sederhana ini;...

Are Indonesian Universities Failing to Protect the Victims of Sexual Assault?

Are Indonesian Universities Failing to Protect the Victims of Sexual Assault? Analisis salah satu tayangan Vice Indonesia, pertama kali tayang di kanal youtube Vice pada 7 April 2019 Tema Penangan pelecehan seksual di kampus Indonesia  Latar Belakang Produksi Berangkat dari pengakuan dari korban pelecehan seksual bernama Agni (bukan nama sebenarnya), yang dilecehkan oleh HS, seorang mahasiswa rekan KKN saat melakukan KKN di Maluku pada 2017. Agni dan HS adalah mahasiswa UGM (Universitas Gadjah Madah) Yogyakarta. Kasus ini mencuat saat ia menuntut ketidakadilan atas nilai KKN yang diperoleh serta tidak ada tindakan serius oleh beberapa pihak tempat ia melapor. Banyak riset yang menyebutkan bahwa, minimnya bukti bahkan nyaris tidak ada, membuat orang-orang tidak mempercayai kasus semacam ini. Tak hanya itu, budaya patriarki yang kuat menyebabkan masyarakat cenderung menyalahkan korban, bahkan melanggengkan pelecehan seksual yang terjadi termasuk di ranah kampus sekalipun. Ruang aman ...

Mau Bikin Liputan? Mulailah dengan Perencanaan

Saatbuat konten jurnalistik apapun, entah dalam bentuk tulisan, foto, ataupun video, kamu tak hanya perlu perangkat pendukung seperti recorder, kamera, tripod, smartphone, clip-on, dan lain-lain. Soal alat, itu bisa jadi kebutuhan nomor dua. Artinya, di atas itu, ada yang lebih penting, yaitu perencanaan.  Pada umumnya, tahap perencanaan masuk dalam tahap pra-produksi. Tujuan perencanaan agar saat memulai produksi alias turun lapangan, kita tak kelabakan dan tahu mau ngapain aja. Dengan perencanaan yang bagus, akan menghemat biaya produksi dan waktu.  Berikut ini cara-cara membuat perencanaan liputan: 1. Tema Ada banyak hal disekitar kita yang bisa dijadikan tema liputan. Cara menemukannya (lebih tepat: menangkapnya) adalah dengan menajamkan kepekaan terhadap segala sesuatu. Mulailah dengan pertanyaan apa yang menarik dari hal ini atau tempat ini? 2. Lokasi Tentukan di mana saja lokasi yang perlu kamu datangi untuk membuat liputan tersebut, seperti lokasi tempat ti...